Sebuah Perjalanan

Banyak orang bertanya, kenapa aku memutuskan untuk bercadar. Banyak juga yang berfikir di antara mereka, kalau aku sudah lebih baik. Ya, mungkin dari segi pakaian insyaallah bisa di katakan baik. Tapi, dalam hal perbuatan seperti akhlak belum bisa di katakan baik. Aku masih sama seperti kalian yang sedang berusaha menjadi diri yang lebih baik lagi. Seperti temanku yang pernah berkata, saat ia berkumpul dengan para pengusaha, ketika ia di tanya usaha apa yang sedang di jalankan, ia menjawab usaha untuk menjadi lebih baik, katanya.

Apalagi, sekarang sudah bukan anak-anak lagi. Sudah memikirkan jodoh. Karena jodoh cerminan diri, pastinya untuk mendapatkan seseorang yang baik kita juga harus berperilaku baik. Bukankah, begitu?
Awal mula aku memakai kerudung, ketika aku duduk di SMP kelas 2. Sebenarnya saat masuk SMP sudah memakai kerudung, tapi di sekolah aja. Di luar sekolah, santai lepas aja. Hehe. Parah, ya. Bahkan, aku tidak peduli dengan pakaian yang serba minim. Rambut di gerai. Layaknya kebanyakan remaja yang suka ada di mall mall gitu, lah. Tapi, untungnya tidak tahu menahu tentang pengecatan rambut, Alhamdulillah rambut tidak pernah di warnai. Nah, saat masuk ke kelas 2 SMP, ada seseorang yang membuat aku berfikir. Memang, kegiatan ku selalu mengaji sekolah agama, tapi aku seperti tidak tahu harus apa dengan diriku sendiri. Akhirnya, karena Allah mengirimkan hidayah untukku lewat seorang lelaki yang notabenenya adik kelas itu, dan aku mau berhijab. Karena, dia pun agamanya bagus. Aku suka sama lelaki itu. Ya, dulu aku masih menganggap kalau pacaran itu ya boleh-boleh aja. Asal gak berlebihan. Salahku juga, aku pacaran. Tapi, bukan dengan lelaki itu melainkan dengan kakak kelas. Entah karena apa aku menerimanya. Sudahlah, tidak usah dibahas. Dengan berubahnya cara berpakaianku, ya aku hanya sebatas berubah penampilan. Tidak dengan berusaha memperbaiki diri. Sampai masuk SMA pun ya kaya gitu-gitu aja. Padahal aku SMA di pondok. Pikirannya cuma gimana caranya biar berprestasi, belajar harus rajin, berperilaku jujur, dll. Di pondok iya pake rok, pakaian rapi, eh di rumah masih pake celana ketat.

Setelah keluar dari SMA tahun 2017, termasuk keluar dari Pondok Pesantren Cipasung di Tasikmalaya, akhirnya aku memutuskan untuk kembali mondok di Jogja, tepatnya di Al-Munawwir. Nah, saat itulah aku berfikir “Bagaimana, ya kalo aku di cadar?” Aku bertanya-tanya juga ke temen cowok yang emang dia pinter agamanya. Dia juga yang jadi saksi perubahanku. Setelah 5 bulan mondok di Jogja, dan tak pernah pulang, aku merasa kok gini-gini aja ya hidupku. Emang, sih niatnya ngafal, tapi kok lingkungan kurang mendukung, jadwal ngaji juga jarang. Bukan karena aku bolos, tapi emang jadwal yang begitu. Malam Minggu sampai malam rabu ngaji, sisanya libur. Siang apalagi, gak ada kerjaan. Karena yang lain kuliah, aku enggak. Jadwal setoran seminggu 2 kali, dan itu pun belum tentu mba nya datang. Pusing, kan? Akhirnya, aku bilang ke Bapak, kalo aku pengen pindah. Alhamdulillah, di izinin.

Aku searching di google, buat nyari pondok. Hasilnya, Alhamdulillah ada. Dan itu gratis. Di Bandung, pula. Tempat yang memang pengen aku kunjungi. Tapi, ada tes masuk bulan Desember. Setelah ikut ujian les di Jogja, aku memutuskan untuk pulang. November.

Setelah lama di Jogja dan kembali ke Banjar, dimana tempat aku tinggal, aku rindu Cipasung. Alhamdulillah, setelah kembali ke Banjar, aku mencoba memakai pakaian yang syar’i, tidak lagi memakai celana ketat seperti yang dilakukan dulu saat pulang liburan pondok.
Karena Bapak peka, Bapak mengantarkan aku ke Cipasung lalu ia silaturahmi ke temannya yang masih sama-sama di Tasik, dan sorenya menjemputku di Cipasung. Karena aku malu datang sendiri sebagai alumni ke Cipasung, aku pakai masker. Bahkan, di kantor asrama aku memanggil Amel, temanku lewat speaker bahwasanya ada doif atau tamu. Amel juga kebingungan saat itu, siapa tamunya. Lalu, aku cepat-cepat narik tangannya, lalu pergi ke kamar Amel. Kami bercerita banyak disana. Tapi, waktuku sebentar. Sore hari aku harus pulang. Di perjalanan, malah kefikiran kok pake masker nyaman ya. Berinisiatif lah aku beli cadar untuk aku pake di Bandung. Sepertinya pakai cadar juga tidak salah, dan pastinya akan lebih mudah mengontrol diri.

Di Bandung, 22 Desember 2017, aku bertemu dengan teman baru dari berbagai penjuru Indonesia. Aceh, Medan, Kendari, Solo, Jogja, dan tentunya Bandung. Saat, ini jugalah aku gak berani pakai cadar. Karena, disini banyak juga yang memakai cadar. Mereka semua pakai kaos kaki, baik yang bercadar atau tidak. Sedangkan aku, bawa kaos kaki satu. Duh, nggak sekarang lah pakenya. Aku hanya memerhatikan mereka yang bercadar. Selama 3 hari dimana kami di tes sejauh mana kemampuan kita menghafal bukan seberapa banyak yang sudah kita hafalkan. Baru 3 hari mengikuti program disana, aku udah stres. Tapi, niatnya kalau emang di takdirkan di Kuntum, pondok yang mengadakan tes tahfidz ini, aku harus berusaha. Tapi, kalau tidak pun ya Alhamdulillah. Setelah waktu habis, teman-teman dari kamar Madinah yang aku tempati ini berencana ikut kajian Ust. Adi di Trans Studio Bandung. Aku pun gak mau ketinggalan kesempatan ini. Karena pasti akan membludak jamaahnya kita bagi 2 rombongan, karena banyak barang bawaan. Rombongan pertama langsung ke masjid TSB, sedangkan rombongan ke-2 ke rumah Kak Dini di Buah Batu, Bandung. Aku lebih memilih ke rumah Kak Dini. Ojek online yang di pesan dari daerah Cipatik ini lumayan sulit. Kami juga membawa koper-koper banyak. Alhasil, kita sewa angkot ke Buah Batu. Kita juga meminta kepada rombongan yang ada di masjid supaya di barisan depan, kalau tidak, kami akan hanyutkan barang-barang kalian, kata Kak ST dari Kendari yang ikut rombongan kami ke rumah Kak Dini.

Di rumah Kak Dini-lah, tanggal 25 Desember 2017, sore hari saat mau pergi ke kajian aku mencoba untuk menggunakan cadar. Karena, aku sudah membeli kaos kaki di stand Kuntum. Yeaaaaaaay. “Aku mau coba pake cadar, ah” aku menginformasikan ke teman-teman yang ada di sana. Di sana juga ada Kak Firda dan Kak ST yang memakai cadar. Pake aja, aku juga awalnya coba-coba, Get, kata Kak ST. Baiklah, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, mulai hari ini aku pakai cadar.

Keesokan harinya aku baru meminta izin Bapak lewat chat WhatsApp. Alhamdulillah, di kasih izin. Ah ternyata semudah ini aku mendapatkan izin. 26 Desember 2017 kita bermalas-malasan di rumah Kak Dini sampai akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke Pasar dan dilanjutkan nonton Ayat-ayat Cinta. Sedangkan tanggal 27, berkeliling Kota Bandung. Saat itu juga pengumuman tes tahfidz sudah ada di WA. Ternyata, teman-teman yang ikut rombongan main sama Kak Dini banyak yang diterima. Tapi, sayang, Kak Rahmi dan Kak Aisyah gagal. 28 Desember kita berangkat juga ke Bekasi. Mengikuti kajian Ust. Adi Hidayat, Lc, MA, di daerah Jakasatia. Kita datang terlalu cepat. Ba'da Maghrib dimulai, ba'da Dzuhur kita sudah datang. Akhirnya kita di sambut dengan oleh pihak pengurus DKM, kami di beri makan siang juga tempat untuk beristirahat di tempat akhwat. Setelah selesai kajian, pun kami di beri makan malam. Saat kita santap malam, Kak Rahmi bercerita, bahwa dirinya tadi bertemu dengan santri tahfidz yang mondok deket dari sini, sekitar 5 menit menggunakan kendaraan. Pondok-nya gratis juga. Karena aku juga penasaran, aku memutuskan untuk survey bersama Kak Rahmi, Kak Aisyah, Kak Nurul dan juga Kak Radhiah.

Keesokan harinya, jadwal kita untuk pulang ke tempat masing-masing. Sebelum pulang, aku survey dulu ke Yayasan Bait Ahlul Qur’an. Cukup nyaman untuk menghafal, targetnya juga tidak sulit, biaya gratis, bisa ikut kajian, dan sepertinya cocok untukku.
Bismillah, aku memutuskan untuk mondok di Bekasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Bapak Tentang Nikah Muda

Tips & Trick Menghafal Qur'an